Kapan Aku Di Dengar?
Karya: tommy alexander tambunan
Kapan kah bisa aku di dengar?
Kalimat itu yang ingin ku muntahkan ke padamu wahai pemerintah negara ku.
“Mentari itu mulai memudar ya ky? Apa mata ibu yang mulai buram? Rizky,ibu
kedinginan nak!” ujar ibu sembari menahan tangis. “Kalau ibu mau pergi,pergi
lah bu. rizky sudah ikhlas” bisik ku di telinga mungil ibu. Aku tak mampu lagi
melihat ibu menahan sakit nya. “Iya ky,ibu juga udah gak kuat. Rasa nya hawa dingin
itu ingin menjemput raga ibu,jaga dirimu ya nak.” Ibu pun menggenggam erat
tangan ku. Perlahan genggaman tangan nya mulai merenggang dan ibu pun akhirnya
pergi ke sana.
☺☺☺
Kejadian
itu sekitar dua tahun yang lalu,aku ingat betul cuaca pada hari itu sedang
hujan deras. Karena baju ibu sangat basah kuyub oleh tetesan hujan. “Ibu dari
mana,kalau hujan-hujanan terus nanti jadi sakit” ujar ku sambil mengambil
sehelai kain untuk mengeringkan ibu yang basah kuyub. “Ibu tadi dari mungutin
nasi sama lauk di rumah makan,lumayan nih ky” jawab ibu sambil menunjukan
sebungkus nasi dan lauk sisa. Ya,kami adalah keluarga gelandangan. Entah apa
yang membuat kami jadi seperti ini,sebab aku sudah menghirup asap jalanan dari
lahir. Rizky Prasetya Budi,nama yang cukup bagus diberikan oleh seorang
pecundang kepadaku,yaitu ayah ku. Dia pergi meninggalkan kami dan menikah
dengan wanita lain. Aku miris melihat ayah yang di pecundangi oleh kemiskinan.
Ia rela mengorbankan harga diri dan keluarga nya demi setumpuk uang yang di berikan
si janda kaya. Rasa nya ingin ku bunuh ayah ku saat itu,saat ibu menangis dan
saat ia menampar ibu ku yang mencoba menahan nya. Sayang,saat itu aku masih
berumur enam tahun. Tapi aku selalu berusaha melupakan kenangan itu.
☺☺☺
Setiap hari ibu menjajakan koran di
perempatan jalan,aku sendiri berjualan asongan di lampu merah jalan. “Ibu
berjualan hari ini? Tapi kyak nya ibu demam karena kehujanan kemarin.” Kataku
sambil memegangi kening ibu yang terasa sedikit hangat. “Ibu sehat-sehat aja
kok nak” jawab ibu sambil mengambil koran dan kami pun pergi bersama-sama.
☺☺☺
Aku sudah tidak bersekolah
lagi,cita-cita ku menjadi seorang presiden pun pupus saat kelas enam SD.
Teman-teman ku di perkampungan gelandangan juga banyak yang seperti ku.
Seharusnya sekarang aku sudah kelas dua SMP. Rasanya iri sekali ketika aku
berjualan melihat orang-orang memakai seragam putih biru melintas di lampu
merah. Mereka bercanda ria,seakan tidak ada beban di wajah nya. Aku sudah
berkali-kali mengirim surat kepada pemerintah di
kota ku,ku pikir mereka akan memberikan sedikit
bantuan usai melihat surat
ku. Dua bulan sudah berlalu,sudah 20 surat
ku kirim. Saat ingin mengirimkan surat
ke 21,aku melihat tumpukan kertas di tong sampah. Aku mengambil nya dan membaca
nya, “Jahat kalian! Ini surat
ku! Mana janji kalian saat kampanye kemarin?” ucap ku dalam hati sambil
bergegas meninggalkan kantor pemerintah kota.
☺☺☺
Senja pun tiba,kami berdua lekas
pulang kerumah. “rizky,ky!” teriak ibu. Aku pun berlari dan menemukan ibu sudah
tergeletak di lantai. “tolong,tolong,tolong” teriak ku. Akhir nya warga pun
berdatangan dan kami sepakat membawa ibu ke rumah sakit. “dokter,apa penyakit
ibu saya?” ibu adek sedang masa pemeriksaan harap tunggu sebentar. Dua jam
berselang dokter menyuruh ku keruangan nya. “ibu adek mengalami tumor
otak,tumor ini nampaknya sudah lama di dalam. Jika tidak di operasi maka akan
menyebar ke tempat lain” aku terkejut dengan perkataan dokter. “berapa
kira-kira biaya operasi dok?” kataku sembari cemas. “kurang lebih 500 juta
rupiah” kata dokter. Oh tuhan,cobaan apalagi ini,ucapku dalam hati. “apa ada
jalan pintas lain dok?” ucap ku. “tidak ada dek,operasi atau mati. Itu pilihan
nya.” Kata dokter itu. Aku pun memberi tahu tentang semua yang di katakan dokter
ke warga kampung kumuh tempat tinggal ku. “ayo kita ke kantor pemerintah
daerah,kita meminta bantuan. Atau tidak kita ke kantor DPRD.” Ucap seorang
warga padaku. Akhir nya kami ke kantor pemerintah. Ironis nya,kami di tolak
mentah-mentah. Dan kami pun melanjutkan ke kantor DPRD. Kami mengira akan di
terima,tetapi perlakuan mereka sama saja. Setiap hari aku selalu berteriak di
kantor DPRD dan pemerintah. Tapi yang ada aku malah di usir. “KAPAN AKU DI
DENGAR? KAPAN KALIAN MAU MENDENGAR JERIT TANGIS KU? APA SAAT KALIAN MERASAKAN
MENJADI SEPERTI KU? SUMPAH KU MENAUNGI MU!” Aku sudah kehilangan arah,sedangkan
ibu butuh perawatan. Akhir nya ku putus kan
membawa ibu pulang. . “Kalau ibu mau pergi,pergi lah bu. rizky sudah ikhlas”
bisik ku di telinga mungil ibu. Aku tak mampu lagi melihat ibu menahan sakit
nya. Tetesan darah terus mengalir dari kuping dan hidung nya. Akhir nya dengan
sedikit rasa kecewa,sedih dan marah. Aku merelakan kepergian ibu. SEMOGA IBU
TENANG DISANA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar