Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 Mei 2013

Kapan Aku Didengar???



                                            Kapan Aku Di Dengar?

Karya: tommy alexander tambunan


Kapan kah bisa aku di dengar? Kalimat itu yang ingin ku muntahkan ke padamu wahai pemerintah negara ku. “Mentari itu mulai memudar ya ky? Apa mata ibu yang mulai buram? Rizky,ibu kedinginan nak!” ujar ibu sembari menahan tangis. “Kalau ibu mau pergi,pergi lah bu. rizky sudah ikhlas” bisik ku di telinga mungil ibu. Aku tak mampu lagi melihat ibu menahan sakit nya. “Iya ky,ibu juga udah gak kuat. Rasa nya hawa dingin itu ingin menjemput raga ibu,jaga dirimu ya nak.” Ibu pun menggenggam erat tangan ku. Perlahan genggaman tangan nya mulai merenggang dan ibu pun akhirnya pergi ke sana.
☺☺☺
Kejadian itu sekitar dua tahun yang lalu,aku ingat betul cuaca pada hari itu sedang hujan deras. Karena baju ibu sangat basah kuyub oleh tetesan hujan. “Ibu dari mana,kalau hujan-hujanan terus nanti jadi sakit” ujar ku sambil mengambil sehelai kain untuk mengeringkan ibu yang basah kuyub. “Ibu tadi dari mungutin nasi sama lauk di rumah makan,lumayan nih ky” jawab ibu sambil menunjukan sebungkus nasi dan lauk sisa. Ya,kami adalah keluarga gelandangan. Entah apa yang membuat kami jadi seperti ini,sebab aku sudah menghirup asap jalanan dari lahir. Rizky Prasetya Budi,nama yang cukup bagus diberikan oleh seorang pecundang kepadaku,yaitu ayah ku. Dia pergi meninggalkan kami dan menikah dengan wanita lain. Aku miris melihat ayah yang di pecundangi oleh kemiskinan. Ia rela mengorbankan harga diri dan keluarga nya demi setumpuk uang yang di berikan si janda kaya. Rasa nya ingin ku bunuh ayah ku saat itu,saat ibu menangis dan saat ia menampar ibu ku yang mencoba menahan nya. Sayang,saat itu aku masih berumur enam tahun. Tapi aku selalu berusaha melupakan kenangan itu.
☺☺☺
Setiap hari ibu menjajakan koran di perempatan jalan,aku sendiri berjualan asongan di lampu merah jalan. “Ibu berjualan hari ini? Tapi kyak nya ibu demam karena kehujanan kemarin.” Kataku sambil memegangi kening ibu yang terasa sedikit hangat. “Ibu sehat-sehat aja kok nak” jawab ibu sambil mengambil koran dan kami pun pergi bersama-sama.
☺☺☺
Aku sudah tidak bersekolah lagi,cita-cita ku menjadi seorang presiden pun pupus saat kelas enam SD. Teman-teman ku di perkampungan gelandangan juga banyak yang seperti ku. Seharusnya sekarang aku sudah kelas dua SMP. Rasanya iri sekali ketika aku berjualan melihat orang-orang memakai seragam putih biru melintas di lampu merah. Mereka bercanda ria,seakan tidak ada beban di wajah nya. Aku sudah berkali-kali mengirim surat kepada pemerintah di kota ku,ku pikir mereka akan memberikan sedikit bantuan usai melihat surat ku. Dua bulan sudah berlalu,sudah 20 surat ku kirim. Saat ingin mengirimkan surat ke 21,aku melihat tumpukan kertas di tong sampah. Aku mengambil nya dan membaca nya, “Jahat kalian! Ini surat ku! Mana janji kalian saat kampanye kemarin?” ucap ku dalam hati sambil bergegas meninggalkan kantor pemerintah kota.
☺☺☺
Senja pun tiba,kami berdua lekas pulang kerumah. “rizky,ky!” teriak ibu. Aku pun berlari dan menemukan ibu sudah tergeletak di lantai. “tolong,tolong,tolong” teriak ku. Akhir nya warga pun berdatangan dan kami sepakat membawa ibu ke rumah sakit. “dokter,apa penyakit ibu saya?” ibu adek sedang masa pemeriksaan harap tunggu sebentar. Dua jam berselang dokter menyuruh ku keruangan nya. “ibu adek mengalami tumor otak,tumor ini nampaknya sudah lama di dalam. Jika tidak di operasi maka akan menyebar ke tempat lain” aku terkejut dengan perkataan dokter. “berapa kira-kira biaya operasi dok?” kataku sembari cemas. “kurang lebih 500 juta rupiah” kata dokter. Oh tuhan,cobaan apalagi ini,ucapku dalam hati. “apa ada jalan pintas lain dok?” ucap ku. “tidak ada dek,operasi atau mati. Itu pilihan nya.” Kata dokter itu. Aku pun memberi tahu tentang semua yang di katakan dokter ke warga kampung kumuh tempat tinggal ku. “ayo kita ke kantor pemerintah daerah,kita meminta bantuan. Atau tidak kita ke kantor DPRD.” Ucap seorang warga padaku. Akhir nya kami ke kantor pemerintah. Ironis nya,kami di tolak mentah-mentah. Dan kami pun melanjutkan ke kantor DPRD. Kami mengira akan di terima,tetapi perlakuan mereka sama saja. Setiap hari aku selalu berteriak di kantor DPRD dan pemerintah. Tapi yang ada aku malah di usir. “KAPAN AKU DI DENGAR? KAPAN KALIAN MAU MENDENGAR JERIT TANGIS KU? APA SAAT KALIAN MERASAKAN MENJADI SEPERTI KU? SUMPAH KU MENAUNGI MU!” Aku sudah kehilangan arah,sedangkan ibu butuh perawatan. Akhir nya ku putus kan membawa ibu pulang. . “Kalau ibu mau pergi,pergi lah bu. rizky sudah ikhlas” bisik ku di telinga mungil ibu. Aku tak mampu lagi melihat ibu menahan sakit nya. Tetesan darah terus mengalir dari kuping dan hidung nya. Akhir nya dengan sedikit rasa kecewa,sedih dan marah. Aku merelakan kepergian ibu. SEMOGA IBU TENANG DISANA.


 

Senin, 24 Desember 2012

Kapal Impian




Oleh : Tommy Alexander Tambunan

"Nadya,bangun nak. Udah pagi nih”.  Seru ayah sambil membelai-belai  rambutku. “emang udah jam berapa ayah?” jawab suara ku serak sambil memperhatikan ayah yang telah rapi dan bersiap-siap untuk pergi mencari pekerjaan. Ayah di PHK dari perusahaannya yang dulu,akibat mengalami kebangkrutan. Aku tau beban ayah bertambah berat,apalagi sejak kepergian ibu dua bulan yang lalu. Ibu memilih menikah pada lelaki lain,karena kemiskinan yang menimpa kami. “Nadya,ayah pergi dulu ya,doain ayah agar dapat kerja” ujar ayah. “amin,nadya selalu berdoa yang terbaik buat ayah”ayah pun pergi karena jam sudah menunjukan pukul 06.30.

selama delapan tahun aku hidup,hanya satu hari yang paling bahagia bagi ku,yaitu tanggal 25 november 2010. Dimana saat itu ulang-tahunku yang ke-7. Walau hanya aku dan ayah yang merayakan nya,tapi ayah memberikan ku suatu hadiah yang menginspirasiku. Yaitu sebuah kapal-kapalan yang dibuat dari kertas origami berwarna-warni,semula aku menggerutu dengan hadiah tersebut. “ini kapal-kapalan biasa.tapi ntar nadya harus janji sama ayah,kalau sudah besar buat kapal yang besar biar ayah, ibu dan nadya bisa keliling dunia” mendengar kata-kata ayah aku langsung bersemangat dan terus mengangan-angan kan itu. Jujur,aku sangat rindu ibu. Aku berjanji akan mewujudkan nya karena memang aku bercita-cita membuat kapal besar.


Setelah dua minggu mencari pekerjaan,akhirnya ayah diterima di sebuah perusahaan televisi lokal sebagai wartawan. Resiko nya,ayah sering kali berpergian hingga akhirnya ayah memanggil tante ku untuk menjagaku ketika ayah pergi. Suatu hari ayah pergi ke papua untuk meliput pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. Ayah bilang hanya seminggu disana,tapi sudah delapan hari ayah tak ada kabar. Perasaan ku mulai tak enak,tidak seperti biasa ayah tak memberi kabar. Apakah ada kerjaan tambahan sehingga ia terpaksa tinggal lebih lama? Akhirnya udah sebulan ayah tak pulang. aku selalu menanyakan ayah kepada tante,tetapi tante selalu bilang ayah masih kerja. Setiap malam aku selalu menyempatkan diri melihat pintu depan,akan kah ayah pulang?


Hingga suatu hari aku mendengar tante mengobrol dengan seseorang lewat telepon,tante menangis dan ku dengar tante menjelaskan bahwa ayah telah meninggal tertembak pemberontak. Aku ingin menangis,aku ingin menjerit! Aku membentak Tuhan “mengapa ayah tak bisa bersamaku,aku ingin ayah menyaksikan dan ikut berkeliling dunia bersamaku” sulit bagi anak delapan tahun seperti ku untuk menerima nya,hingga akhir nya aku dewasa,aku membangun kapal impian ku dan ayah. Aku mengajak ibu dan keluarga nya naik kekapal dan pergi berkeliling dunia hingga ke pelabuhan Sydney Australia. Tak lupa aku memajang foto besar mendiang ayah ku. “INI KAPAL IMPIAN KITA AYAH.”
“EVEN AFTER DEATH DO US A PART,I WILL ALWAYS WAIT FOR YOU”

2011

Jumat, 07 Desember 2012

Cinta ditolak Dukun Bertindak


Oleh : Tommy Alexander Tambunan




Suatu hari di dunia lain,yaitu alam gaib. Ada pocong yang bernama Kinclong. Kinclong sudah lama menyukai kuntilanak cantik kampung sebelah bernama Tinak. Kinclong sudah berusaha sekuat mungkin untuk menaklukan Tinak,tetapi Tinak tak sedikit pun menanggapi Kinclong. Berminggu-minggu,berbulan-bulan Kinclong hanya murung dan meratapi cinta nya yang tak terbalas. Hal ini membuat teman sesama kampung pocong Kinclong kasihan pada Kinclong. Pocong itu bernama Omcong. Omcong pun mulai mengajari Kinclong tentang teknik-teknik menggaet wanita. “Clong,coba lo buat puisi cinta buat si Tinak” ucap Omcong pada Kinclong. “betul juga lu cong! Ngapa gak kepikiran sama gue dari dulu ya?” jawab Kinclong dengan antusias. “Lo nya aja yang bego,jadi setan jangan bego-bego amat dong,hahahahaha!” mereka pun tertawa bersama dan segera membuat puisi untuk Tinak.

CINAK(CInta tiNAK)
            Karya:Kinclong
Tinak….
Kau cinta pertamaku.
Dan juga cinta paling terakhir
Hati ini hanya untuk mu.

Tinak…
Tau kah kau???
Aku ingin kita bersama di neraka paling dalam
Hanya bersamamu

Mau kah kau???
Itu lah puisi yang di buat Kinclong untuk Tinak. Kinclong pun segera mengirim puisi nya ke rumah Tinak. Dengan hati yang deg-degan Kinclong menunggu dan terus menunggu balasan surat nya. Tak terasa sudah dua bulan berlalu,surat balasan pun datang dan berisi : “Bang Kinclong,maaf banget ya. Tinak gak ada rasa sama abang. Tinak gak suka sama abang karna abang gak bisa ngajak Tinak jalan-jalan naik motor,tangan dan kaki abang kan diikat.” Melihat surat balasan itu,hati Kinclong pun hancur berkeping-keping. “udah Clong,gue ada akal. Kita ke dunia manusia aja minta tolong sama dukun.” Tanpa pikir panjang lagi Kinclong pergi ke dunia manusia dan meminta tolong pada dukun. Tak disangka dalam waktu 2 jam saja,Tinak langsung tergila-gila pada Kinclong.
“Hahahahaha,tenyata jalan dukun bukan hanya favorit manusia. SETAN pun juga menyukai nya. Maka dari itu,siapa yang suka bermain dukun berarti sama saja dengan SETAN.”





Kamis, 06 Desember 2012

Jika Aku Mati

Karya : Tommy Alexander Tambunan








“Anton! Bangun!. Kamu nggak kuliah apa? Jangan cuma bisa molor aja di sini!”  bentak seorang wanita tua dari balik pintu sambil menggedor-gedorkan pintu dengan kerasnya.
 “maaf tante,anton ketiduran. Soal nya semalaman anton lagi buat makalah.”
Ujarku sambil membukakan pintu dan mengusap-usap mataku yang masih memerah dan berair. 
“Eh,Anton! Tante juga pernah kuliah,buat makalah itu gak sampe semalaman tau  nggak! Emang dasar kamu nya aja yang malas bangun! ayo cepat cuci semua piring  kotor,lalu mandi dan kuliah sana!” aku pun hanya menunduk seolah-olah aku yang bersalah,karena semakin aku menjawab,maka semakin dia akan menyemburku dengan kata-kata panasnya.
Antonius Firmansyah,itulah nama lengkap ku. Aku biasa di panggil Anton,ibuku meninggal pada saat melahirkan ku,karna aku dianggp anak pembawa sial,ayah ku telah beberapa kali mencoba membunuh ku ketika aku bayi. Dan karna frustasi kehilangan istrinya,ayah ku pun mendekati jurang narkoba,hingga akhirnya meninggal tepat pada saat umurku mengainjak 10 bulan akibat Over Dosis.
Umur ke sekarang telah menginjak 20 tahun,aku kuliah di fakultas hukum sebuah perguruan tinggi negeri di jakarta. Aku tinggal bersama tante ku yang telah lama menjanda karna suaminya yang meninggal akibat kecelakaan pesawat terbang,dan sampai saat ini tante belum di karuniai seorang anak.
Perlakuan tante ku sangat lah kasar, ia menjadikan ku seperti pembantu dirumahnya,karna ia juga menganggap ku sebgai anak pembawa sial,karna kematian adik semata wayang nya,yaitu ibuku. Dulu,aku bahkan tidak di izinkan untuk kuliah,tetapi aku mencari cara agar aku bisa kuliah,hingga akhirnya aku memenangkan sebuah lomba essai tingkat nasional dan mendapatkan beasiswa SI dari pemerintah.
☺☺☺
Semua piring telah tersusun rapi dan bersih di rak piring. Akupun sudah rapi dan bersiap-siap untuk kuliah. Seperti biasa,aku menunggu bus di halte dekat rumah. Oh iya,bisa dikatakan aku hanya menumpang tidur,makan dan mandi di rumah tente,sebab semua biaya hidupku,aku yang menanggung nya.
Aku bekerja sebagai penjaga counter handphone di dekat rumah. Tak terasa bus yang akan ku tumpangi pun dating,segera aku masuk dan mengambil tempat untuk duduk.
☺☺☺
jam menunjukan pukul 13.50 WIB. Dan bel kampus berbunyi pertanda bahwa kuliah telah berakhir. Aku pun bergegas pulang. Sesampai nya dirumah,aku berganti pakaian,lalu kedapur untuk mencari makanan. Aku pun terkejut ketika ku lihat tidak ada satu pun makanan di tudung saji. Lalu karna rasa lapar yang menggerogoti,aku pun menanyakan kepada tante ku. “Maaf tante,anton lapar. Apa tante gak masak ya? Anton makan apa tante? ” kata ku sambil menundukan kepala dan memegangi perut ku. “Apa??? Kamu itu sudah besar Anton,cari makan sendiri dong,jangn gartisan mulu! Emang kamu siapa?” bentak tante. “Tapi Anton kan keponakan tante” kataku menahan tangis. “Hey Anton,jujur ya. Sampai sekarang tante belum ikhlas,dan sampai kapan pun tidak kan ikhlas kehilangan ibu kamu. Emang apa istimewa nya kamu sehingga ibumu yang harus pergi??? Kenapa tidak kamu yang mati??? Kamu tuh pembawa sial!” aku pun tersentak dan langsung berlari ke kamar. Tak terasa air mata menetes dengan deras dan bebas dari sepasang bola mata yang memerah.
Aku pun mengambil foto ayah dan ibu,lalu memeluk nya. “ibu,walau aku tak begitu lama mengenal mu,tapi hangat rahim mu masih ku rasakan sampai detik ini. Mengapa orang-orang mengira aku yang membunuh mu??? Apa kah engkau juga berfikir begitu ibu? Ayah,mesi berkali-kali kau ingin membunuh ku,tapi aku masih mengingat senyum bahagia mu kala ibu mengandung ku.” Aku menangis,merintih,meronta hingga aku tertidur,pulas,nyenyak dan aku melihat sosok bayangan. Itu ayah dan ibu ku,lalu aku berteriak “ayah,ibu lihat aku anak mu ini!”

“Jika aku mati,akan kah orang-orang menangisi ku”
“Jika aku mati,aku yakin tangis akan sirna melahirkan bahagia”
“Jika aku mati,pasti masih ada keluarga ini.”
“cabut nyawa ku ibu,ayah! Tuhan,gantikan aku dengan meraka!!!”

Ayah dan ibu mendekat,ku dengar ibu berbisik “pergi lah ke kampun nenek mu di Kalimantan. Mereka semua menunggu mu.” Semakin lama ibu menjauh dan tersenyum dan hilang. Aku terbangun,sejenak aku berfikir tentang perkataan ibu. Lalu aku pun memutuskan pergi ke samarinda.
            Sesampai di Samarinda,aku langsung menuju rumah nenek. Benar lah,mereka menyambut ku dengan hangat. Sebuah rasa kekeluargaan yang tak pernah ku dapat kan. Aku lalu menceritakan semua tentang tante. Tampak nenek sangat geram,tapi aku menekan kan agar itu menjadi masa lulu yang tak perlu di ingat-ingat lagi.
            Tak terasa dua tahun ku menginjak Samarinda. Aku pun telah bekerja dan berkeluarga. Aku menikahi seorang gadis Samarinda. Nenek dan kakek pun telah tenang disana. Aku mengajak isri ku ke Jakarta untuk berlibur sekalian mengunjungi tante. Sesampai di rumah tante,aku terkejut,rumah tante hilang. Semua nya rata dengan tanah,hanya ada puing-puing bara api di sana-sini. Aku bertanya ke penduduk sekitar,ternyata rumah tante baru saja mengalami kebakaran tunggal.,dan tante menjadi korban di sana. Aku menarik nafas,dan aku berduka. Baru lah aku sadar,bahwa “hidup mati di tangan tuhan.Dan tak boleh ada yang menghakimi dan di hakimi.”