Kamis, 06 Desember 2012

Jika Aku Mati

Karya : Tommy Alexander Tambunan








“Anton! Bangun!. Kamu nggak kuliah apa? Jangan cuma bisa molor aja di sini!”  bentak seorang wanita tua dari balik pintu sambil menggedor-gedorkan pintu dengan kerasnya.
 “maaf tante,anton ketiduran. Soal nya semalaman anton lagi buat makalah.”
Ujarku sambil membukakan pintu dan mengusap-usap mataku yang masih memerah dan berair. 
“Eh,Anton! Tante juga pernah kuliah,buat makalah itu gak sampe semalaman tau  nggak! Emang dasar kamu nya aja yang malas bangun! ayo cepat cuci semua piring  kotor,lalu mandi dan kuliah sana!” aku pun hanya menunduk seolah-olah aku yang bersalah,karena semakin aku menjawab,maka semakin dia akan menyemburku dengan kata-kata panasnya.
Antonius Firmansyah,itulah nama lengkap ku. Aku biasa di panggil Anton,ibuku meninggal pada saat melahirkan ku,karna aku dianggp anak pembawa sial,ayah ku telah beberapa kali mencoba membunuh ku ketika aku bayi. Dan karna frustasi kehilangan istrinya,ayah ku pun mendekati jurang narkoba,hingga akhirnya meninggal tepat pada saat umurku mengainjak 10 bulan akibat Over Dosis.
Umur ke sekarang telah menginjak 20 tahun,aku kuliah di fakultas hukum sebuah perguruan tinggi negeri di jakarta. Aku tinggal bersama tante ku yang telah lama menjanda karna suaminya yang meninggal akibat kecelakaan pesawat terbang,dan sampai saat ini tante belum di karuniai seorang anak.
Perlakuan tante ku sangat lah kasar, ia menjadikan ku seperti pembantu dirumahnya,karna ia juga menganggap ku sebgai anak pembawa sial,karna kematian adik semata wayang nya,yaitu ibuku. Dulu,aku bahkan tidak di izinkan untuk kuliah,tetapi aku mencari cara agar aku bisa kuliah,hingga akhirnya aku memenangkan sebuah lomba essai tingkat nasional dan mendapatkan beasiswa SI dari pemerintah.
☺☺☺
Semua piring telah tersusun rapi dan bersih di rak piring. Akupun sudah rapi dan bersiap-siap untuk kuliah. Seperti biasa,aku menunggu bus di halte dekat rumah. Oh iya,bisa dikatakan aku hanya menumpang tidur,makan dan mandi di rumah tente,sebab semua biaya hidupku,aku yang menanggung nya.
Aku bekerja sebagai penjaga counter handphone di dekat rumah. Tak terasa bus yang akan ku tumpangi pun dating,segera aku masuk dan mengambil tempat untuk duduk.
☺☺☺
jam menunjukan pukul 13.50 WIB. Dan bel kampus berbunyi pertanda bahwa kuliah telah berakhir. Aku pun bergegas pulang. Sesampai nya dirumah,aku berganti pakaian,lalu kedapur untuk mencari makanan. Aku pun terkejut ketika ku lihat tidak ada satu pun makanan di tudung saji. Lalu karna rasa lapar yang menggerogoti,aku pun menanyakan kepada tante ku. “Maaf tante,anton lapar. Apa tante gak masak ya? Anton makan apa tante? ” kata ku sambil menundukan kepala dan memegangi perut ku. “Apa??? Kamu itu sudah besar Anton,cari makan sendiri dong,jangn gartisan mulu! Emang kamu siapa?” bentak tante. “Tapi Anton kan keponakan tante” kataku menahan tangis. “Hey Anton,jujur ya. Sampai sekarang tante belum ikhlas,dan sampai kapan pun tidak kan ikhlas kehilangan ibu kamu. Emang apa istimewa nya kamu sehingga ibumu yang harus pergi??? Kenapa tidak kamu yang mati??? Kamu tuh pembawa sial!” aku pun tersentak dan langsung berlari ke kamar. Tak terasa air mata menetes dengan deras dan bebas dari sepasang bola mata yang memerah.
Aku pun mengambil foto ayah dan ibu,lalu memeluk nya. “ibu,walau aku tak begitu lama mengenal mu,tapi hangat rahim mu masih ku rasakan sampai detik ini. Mengapa orang-orang mengira aku yang membunuh mu??? Apa kah engkau juga berfikir begitu ibu? Ayah,mesi berkali-kali kau ingin membunuh ku,tapi aku masih mengingat senyum bahagia mu kala ibu mengandung ku.” Aku menangis,merintih,meronta hingga aku tertidur,pulas,nyenyak dan aku melihat sosok bayangan. Itu ayah dan ibu ku,lalu aku berteriak “ayah,ibu lihat aku anak mu ini!”

“Jika aku mati,akan kah orang-orang menangisi ku”
“Jika aku mati,aku yakin tangis akan sirna melahirkan bahagia”
“Jika aku mati,pasti masih ada keluarga ini.”
“cabut nyawa ku ibu,ayah! Tuhan,gantikan aku dengan meraka!!!”

Ayah dan ibu mendekat,ku dengar ibu berbisik “pergi lah ke kampun nenek mu di Kalimantan. Mereka semua menunggu mu.” Semakin lama ibu menjauh dan tersenyum dan hilang. Aku terbangun,sejenak aku berfikir tentang perkataan ibu. Lalu aku pun memutuskan pergi ke samarinda.
            Sesampai di Samarinda,aku langsung menuju rumah nenek. Benar lah,mereka menyambut ku dengan hangat. Sebuah rasa kekeluargaan yang tak pernah ku dapat kan. Aku lalu menceritakan semua tentang tante. Tampak nenek sangat geram,tapi aku menekan kan agar itu menjadi masa lulu yang tak perlu di ingat-ingat lagi.
            Tak terasa dua tahun ku menginjak Samarinda. Aku pun telah bekerja dan berkeluarga. Aku menikahi seorang gadis Samarinda. Nenek dan kakek pun telah tenang disana. Aku mengajak isri ku ke Jakarta untuk berlibur sekalian mengunjungi tante. Sesampai di rumah tante,aku terkejut,rumah tante hilang. Semua nya rata dengan tanah,hanya ada puing-puing bara api di sana-sini. Aku bertanya ke penduduk sekitar,ternyata rumah tante baru saja mengalami kebakaran tunggal.,dan tante menjadi korban di sana. Aku menarik nafas,dan aku berduka. Baru lah aku sadar,bahwa “hidup mati di tangan tuhan.Dan tak boleh ada yang menghakimi dan di hakimi.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar